SAAT SANG MERAH PUTIH BERKIBAR
Muhammad Adnan
SMK Ma’arif Walisongo Kajoran Magelang
Pada 17 Agustus 1945, Ir.Soekarno
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Mulai saat itulah bangsa
Indonesia sebagai bangsa merdeka membuka lembaran baru untuk mengibarkan Sang
Merah Putih di bumi nusantara ini. Namun, seiring berjalannya waktu, untuk
mengibarkan Sang Merah Putih di negeri ini dengan sepenuh hati, tidak semudah
yang kita bayangkan. Untuk mewujudkan harapan itu tentunya diperlukan adanya
perbaikan di berbagai bidang secara serius, salah satunya dalam bidang politik.
Dalam kehidupan politik dikenal
istilah budaya politik. Budaya politik merupakan ciri khas suatu bangsa dalam
konteks kehidupan berpolitik. Budaya politik yang sehat menjadi hal yang sangat
berpengaruh untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis di suatu negara. Di
Indonesia, untuk mewujudkan budaya politik yang sehat rasanya masih terkendala
karena kurang partisipasinya rakyat bahkan kurang kesungguhan pemerintah dalam
mengemban amanat, yang belum bisa mewujudkan sportifitas, menghargai perbedaan,
santun dalam perilaku, mengutamakan kedamaian, dan anti kekerasan dalam
berbagai bentuk. Hal ini dibuktikan masih banyak rakyat Indonesia yang dapat
lapang dada menerima uang pemberian calon wakil rakyat (politik uang), terlebih
di bidang pemerintahan masih banyak terjadi korupsi bahkan secara
terang-terangan dan besar-besaran.
Salah satu yang menjadi permasalahan
di bangsa ini adalah politik uang. Politik uang adalah suatu bentuk pemberian
atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya untuk memilih dengan cara
tertentu pada saat pemilihan umum. Politik uang adalah sebuah bentuk
pelanggaran kampanye, hal ini dijelaskan dalam Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang
No.3 Tahun 1999 yang berbunyi, “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya
pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap
seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun
supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana
hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada
pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu”. Yang memprihatinkan
saat ini bukan hanya maraknya calon wakil rakyat yang memainkan politik uang,
bahkan calon pemilih sendiri yang menginginkan adanya aliran dana dari calon
wakil rakyat ke pihak mereka yang berujung terjadinya praktik politik uang secara terang-terangan
(bahkan tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan, yang pada dasarnya merusak
moral bangsa). Di sisi lain hal ini melanggar undang-undang juga tidak sesuai
dengan moral bangsa yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia. Seorang pengamat politik Undip Budi Setiono menyatakan,
berdasarkan pengamatan dan temuan masyarakat, suara pemilih dihargai mulai Rp
25 ribu hingga Rp 150 ribu (m.suaramerdeka.com).
Hal ini diperkuat dari sumber yang mengatakan bahwa Polri mencatat pidana
kampanye pemilihan legislatif 2014 didominasi oleh pelanggaran money politics atau politik uang. Yang
setidaknya berjumlah 57 kasus (liputan6.com).
Yang lebih memprihatinkan bukan hanya calon wakil rakyat tetapi juga calon
pemilih yang memainkan money politik tersebut.
Hal ini dikuatkan dari sebuah sumber yang mengatakan bahwa ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jilmy Asshiddiqie mengungkapkan,
pihaknya menerima laporan ada tiga partai yang ditawari perolehan suara oleh
oknum penyelenggara pemilu. “Ada tiga parpol yang menghubungi kami.
Penyelenggara yang menawarkan ada dari tingkat PPK, ada juga dari kabupaten.
Salah satu anggotanya. Mereka menawarkan mau menang apa kalah”. Peran pemerintah
dan dukungan dari rakyat Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan untuk
meminimalisir terjadinya politik uang.
Masalah lain yang dihadapi bangsa
ini adalah korupsi. Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Korupsi
merupakan suatu kegiatan yang dilarang oleh undang-undang, hal ini dijelaskan
menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No.31 Tahun 1999 jo No.20 Tahun 2001, ”(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000, 00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap yang : a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”. Dari kutipan pasal dalam
undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu kegiatan
melanggar hukum dan tidak sesuai dengan moral bangsa Indonesia yang tertera
dalam Pancasila. Di Indonesia praktek korupsi banyak terjadi di dunia
pemerintahan bahkan secara besar-besaran. Teracatat dari tahun 2004-2014 (per
31 Maret 2014) ada sebanyak 366 kasus korupsi (berdasarkan jenis perkara) yang
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu lembaga untuk
memberantas korupsi di Indonesia (kpk.go.id).
Hal ini tentunya menggambarkan bahwa pemerintahan Republik Indonesia belum
sepenuhnya sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dari sumber lain mengatakan
bahwa baru-baru ini, ada 3 kasus korupsi yang diungkap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Salah satunya adalah kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian
negara sebesar Rp 375 miliar. Permasalahan ini pada dasarnya melanggar
undang-undang, merugikan negara, dan merusak moral bangsa. Maka perlu adanya upaya
untuk meminimalisir terjadinya hal yang demikian. Untuk meminimalisir bahkan
membersihkan masalah korupsi di negara ini perlu adanya strategi dari pemerintah maupun rakyat untuk mewujudkannya. Salah
satunya dengan strategi Pendidikan
dan Budaya Antikorupsi. Strategi tersebut
akan terlaksana apabila semua elemen bangsa ini bekerja. Rakyat berupaya untuk
membudayakan antikorupsi mulai dari penanaman sistem dalam keluarga, misalnya
didikan dari orang tua kepada anak yang di dalamnya ada penanaman nilai budaya
antikorupsi. Begitu juga pemerintah harus memperbaiki sistem internal
kepemerintahan sehingga di kalangan pemerintahan bersih atas praktik korupsi
maupun pemerintah memfasilitasi dan atau menyelenggarakan berlangsungnya
sosialisasi tentang budaya antikorupsi. Hal ini diperkuat oleh Perpres Nomor 55
Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK)
memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang
(2012-2025) adalah: “Terwujudnya
kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang
berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi: “Terwujudnya tata kepemerintahan yang
bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta
nilai budaya yang berintegritas”. Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang strategi salah satunya
Pendidikan dan Budaya Antikorupsi (http://acch.kpk.go.id).
Semangat reformasi (1998) yang pada waktu itu dimotori oleh para pemuda
negeri ini untuk mewujudkan sistem politik yang sehat rasanya belum terulang
kembali dikala era reformasi ini
berjalan. Kemerosotan moral bangsa dalam bidang politik menjadi tanda bahwa
semangat yang dulu pernah ada, sekarang belum terulang kembali. Mudahnya para
pemuda bahkan yang berpendidikan sekalipun untuk melakukan praktik-praktik yang
dilarang undang-undang hanya dengan tipuan lembar kertas berharga (uang),
nyatanya menjadi bukti turunnya moral bangsa saat ini. Belum lagi, saat
dihadapkan pada sebuah permasalahan negara, sebagian para pemuda hanya
mengatakan “Mikir Negara Marai Mumet” (berasal
dari bahasa jawa) yang artinya “Memikirkan Negara Menyebabkan Pusing”.
Itulah tanggapan sebagian pemuda saat ada yang membicarakan permasalahan
negara. Dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka rasanya perlu perbaikan pada semua
elemen termasuk kaum muda (moralnya) untuk menumbuhkan cinta tanah air
Indonesia.
Adanya
tantangan bangsa berupa korupsi dan politik uang, membuktikan bahwa budaya
politik yang sehat di Indonesia belum dapat terlaksana dengan baik. Politik
uang dan korupsi merupakan cermin belum adanya sportifitas, menghargai
perbedaan, dan santun dalam perilaku entah itu dari kalangan pemerintah maupun
rakyat biasa. Budaya politik yang sehat dapat terlaksana dengan baik dan utuh
apabila pemerintah mempunyai dan menerapkan konsep sesuai konteks permasalahan
yang ada serta rakyat mendukung sepenuh hati program-program pemerintah yang
bertujuan untuk menanggulangi permasalahan yang ada. Seperti yang sudah
dikatakan oleh Presiden RI pertama, bahwa suatu bangsa harus mempunyai konsep
yang sesuai dengan kondisi bangsa itu sendiri, “Tidak ada dua bangsa yang cara
berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara bejuang sendiri, mempunyai karakteristik
sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai
kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam berbagai hal, dalam
wataknya dan lain-lain sebagainya” (Soekarno,
1958).
Di Indonesia dikenal Empat Pilar
Berbangsa dan Bernegara yang dipopulerkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Empat pilar berbangsa dan bernegara ini meliputi Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar tersebut merupakan konsep-konsep yang
mempunyai arti dan penerjemahan berbeda-beda, tetapi pada dasarnya semua dari
keempat pilar tersebut mempunyai intisari yang sama yaitu tercipta dari moral
bangsa Indoinesia. Empat pilar berbangsa dan bernegara bukan hanya milik
sebagian orang Indonesia, intelektual, orang kaya, wakil rakyat, tetapi Empat
Pilar Berbangsa dan Bernegara merupakan hak milik rakyat Indonesia yang harus
ditanamkan sejak dini untuk mempertahankan NKRI di bumi pertiwi ini.
Konsep Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara (rumusan MPR-RI) rasanya sampai saat ini belum bisa tertanam secara
utuh pada moral bangsa Indonesia secara keseluruhan. Salah satunya dibuktikan
dengan belum terlaksana secara utuh budaya politik yang sehat di negara ini. Pasalnya
sampai saat ini masih banyak terjadi praktik-praktik yang berkaitan dengan pelanggaran
hukum bahkan berdampak merusak moral bangsa. Hal itu diumpamakan sebagai sebuah
komputer yang mengalami kerusakan di bagian processornya,
padahal processor merupakan hal yang
utama pada komponen komputer. Masalah ini perlu perhatian khusus dari pemerintah untuk memunculkan
gagasan-gagasan demi meminimalisir terjadi
praktik yang sedemikian, seperti halnya konsep Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara sekaligus cara untuk mensosialisasikannya. Disisi lain rakyat juga
harus kritis membaca situasi yang terjadi di lapangan dan harus kritis memahami
undang-undang yang ada serta mendukung berjalannya program pemerintah untuk
meminimalisir terjadinya praktik-praktik yang dapat merusak moral bangsa. Dalam
hal ini pemerintah bersama rakyat harus bekerjasama untuk mencapai target yang
sama, yaitu Indonesia terwujudnya budaya politik yang sehat. Tentunya peran pemuda disini tidak bisa lepaskan,
pasalnya pemuda merupakan generasi bangsa yang sejak dini seharusnya ditanamkan
nilai-nilai Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, dengan kata lain untuk
mewujudkan semangat
“SAAT SANG MERAH PUTIH BERKIBAR” yang artinya Indonesia ini bisa merdeka
sepenuhnya tanpa dijajah moral bangsanya dan bangsa Indonesia bisa merasakan
apa yang ada di benak dasar negara kita, dan di benak founding father yang berjuang mati-matian hanya untuk mengibarkan
Sang Merah Putih di bumi Pertiwi ini.
Namun
demikian, hal ini tidak bisa terjadi hanya dengan waktu yang singkat tanpa
adanya dukungan dari semua pihak pemerintah maupun rakyat Indonesia secara
serius.
SAAT SANG MERAH PUTIH BERKIBAR
Reviewed by Unknown
on
23.01
Rating:
Tidak ada komentar